Malik Danuraga ini bukan tipe yang suka sunset, bukan juga tipe yang suka olahraga. Sunset hanya bagian dari matahari, sama aja. Beda warna doang. Olahraga juga malas, lebih suka berkutat dengan alat-alat berirama.

Tapi disini ia sekarang. Dipinggir pantai, memandang sunset hari itu, satu jam setelah ia balik dari gym.

Hebat? Banget!

Sebuah rutinitas baru yang Malik jalani. Pergi ke gym sore-sore walau tidak sampai satu jam dan memandang sunset sendirian.

Ditemani secarik kertas yang kini kondisinya semakin lusuh. Terlalu sering terkena air mata, terlalu sering dibuka kemudian dilipat dan dibuka lagi.

Tiga bulan setelah kepergian Naura memang ia belum bisa pulih sepenuhnya. Masih sering terbayang, masih sering tiba-tiba menangis dan semua lagu yang ia dengar seakan bercerita tentang gadis itu.

Parahnya lagi, Malik tidak bisa membuat lagu lain dengan makna lain. Selalu tentang patah hati, kepergian, kesepian dan segala rasa yang menghantam setelah Naura pergi.

“semua gara-gara kamu na, aku jadi lebih baik lebih sehat tapi aku jadi gabisa bikin lagu …”

Ia tersenyum singkat, “semua gara-gara kamu loh”

Sebelum matahari benar-benar hilang, Malik pasti akan beranjak dari tempatnya dan menyampaikan salam. Entah bagaimana salam dan pesannya sampai, yang pasti itu untuk Naura.

“udah ya na, aku udah liatin sunset hari ini. Sampai jumpa besok lagi! Aku sayang kamu”

Kemudian ia akan simpan kembali kertas itu kedalam dompetnya dan pergi pulang.

Begitu rutinitasnya selama tiga bulan terakhir. Entah bisa begini selamanya atau tidak. Selagi ia masih ingat Naura, ia akan selalu seperti ini.